Bakar Kemenyan, Tradisi atau Syirik? Ini Penjelasan Ulama dan Dalilnya

Aroma kemenyan atau dupa sering memicu perdebatan di kalangan umat Islam di Indonesia. Tidak sedikit yang langsung mengaitkannya dengan praktik perdukunan atau kesyirikan. Namun, apakah benar setiap penggunaan kemenyan termasuk dalam perbuatan syirik? Faktanya, dalam sejarah Islam, kemenyan justru memiliki tempat tersendiri yang jauh dari kesan mistis.

Kemenyan dalam Sejarah Islam dan Budaya Arab

Sebelum masuk ke tanah air, kemenyan—yang berasal dari resin pohon Boswellia—sudah digunakan di berbagai kebudayaan, termasuk di Timur Tengah. Dalam tradisi Arab, kemenyan dikenal dengan istilah bukhur atau luban, dan telah lama digunakan untuk mengharumkan rumah, pakaian, bahkan masjid.

Keharumannya yang menenangkan membuat kemenyan memiliki fungsi mirip aromaterapi masa kini. Di masa Nabi Muhammad SAW pun, penggunaan bukhur tercatat dalam berbagai hadits.

Dalil dan Riwayat Hadits: Rasulullah SAW Gunakan Buhur

Beberapa hadits menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menyukai wewangian, termasuk dari asap bakaran seperti kemenyan. Salah satu riwayat menyebutkan:

“Dahulu Nabi SAW menggunakan minyak wangi dan bukhur, terutama di hari Jumat.” (HR. Ahmad dan Al-Bazzar, dengan sanad hasan).

Tak hanya itu, buhur juga digunakan untuk:

  • Mengharumkan kain kafan jenazah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ahmad.
  • Mewangi masjid, seperti sabda Nabi SAW: “Harumkanlah masjid-masjid kalian pada hari berkumpul.” (HR. Al-Thabrani).

Riwayat-riwayat ini membuktikan bahwa penggunaan kemenyan sebagai pengharum memiliki landasan kuat dalam Islam dan bukan sesuatu yang dilarang, selama tidak disalahgunakan.

Penjelasan Ulama: Tergantung Niat, Bisa Jadi Sunnah

Habib Novel Alaydrus, seorang ulama terkemuka, menyatakan bahwa hukum membakar kemenyan sangat bergantung pada niat orang yang melakukannya.

“Jika niatnya untuk mengharumkan ruangan, pakaian, atau suasana ibadah, maka itu bagian dari sunnah. Sama halnya dengan aromaterapi,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa menyebut seseorang musyrik hanya karena membakar menyan tidaklah tepat tanpa memahami maksud dan tujuannya.

Kapan Membakar Kemenyan Menjadi Terlarang?

Menurut Habib Novel, perbuatan ini baru dapat dinilai syirik apabila:

  • Kemenyan digunakan sebagai persembahan untuk jin atau makhluk gaib.
  • Diyakini bahwa asapnya memiliki kekuatan magis.
  • Dijadikan alat dalam praktik perdukunan atau ritual menyekutukan Allah SWT.

Jika digunakan semata-mata untuk kenyamanan dan keharuman, perbuatan itu termasuk hal yang mubah bahkan dianjurkan dalam Islam.

Kesimpulan

Islam adalah agama yang mencintai kebersihan dan keindahan. Menggunakan kemenyan sebagai pengharum bukanlah tindakan terlarang, apalagi jika niatnya adalah untuk menciptakan suasana yang nyaman saat beribadah.

Selama tidak disertai keyakinan syirik, membakar kemenyan bukanlah perbuatan dosa—bahkan bisa menjadi ibadah jika diniatkan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW yang mencintai wewangian. Maka, penting untuk tidak menghakimi semata dari apa yang tampak, tapi memahami makna dan niat di balik sebuah amalan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini