Pasar Beras Kacau, Pengamat: Lonjakan Harga Akibat Salah Kelola Pemerintah!

Harga beras di pasar terus melesat sepanjang 2025 dan kini sudah melampaui ambang Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Ironisnya, lonjakan ini terjadi di tengah klaim bahwa produksi beras nasional justru melimpah. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi?

Menurut Khudori, pengamat pertanian senior, kondisi ini bukanlah keanehan atau anomali pasar. Ia menyebut, lonjakan harga beras merupakan buah dari kebijakan pemerintah yang tidak sinkron dan justru memperparah situasi.

Ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Kenaikan harga ini adalah konsekuensi logis dari kebijakan pangan yang salah arah sejak awal tahun,” ujar Khudori dalam diskusi virtual bersama Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Senin (14/7/2025).

4 Masalah Kebijakan yang Bikin Harga Beras Melonjak

Khudori membeberkan empat kesalahan kebijakan utama yang menyebabkan harga beras tidak terkendali:

1. HPP Naik, HET Tidak Bergerak

Kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dari Rp6.000 menjadi Rp6.500/kg berdasarkan keputusan Kepala Bapanas No 2/2025, tidak diiringi penyesuaian HET untuk beras medium dan premium. Akibatnya, harga beli dari petani naik, tapi harga jual di pasar tetap dibatasi. Pedagang pun terjepit di tengah.

2. Beli Gabah Asal-asalan

Instruksi Presiden No 6/2025 mewajibkan Bulog dan pelaku swasta membeli gabah petani tanpa memperhatikan mutu. Ini mendorong petani panen dini dengan kualitas rendah.
“Petani memang diuntungkan, tapi ini kebijakan yang tidak mendidik dan menumbuhkan moral hazard,” tegas Khudori.

3. Bantuan Pangan & SPHP Tiba-tiba Dihentikan

Sejak Februari 2025, pemerintah menghentikan program bantuan pangan dan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Padahal, kedua program ini sebelumnya dijadikan instrumen utama menjaga pasokan pasar. Penghentian mendadak ini memperparah kelangkaan beras di pasaran.

4. Bulog Serap Tapi Tak Distribusi

Bulog disebut menyerap gabah dalam jumlah besar namun tidak segera menyalurkannya ke pasar. Hasilnya, stok pemerintah tinggi, tetapi pasar kekeringan suplai.
“Tugas negara bukan cuma menyimpan stok, tapi juga memastikan harga stabil,” tukas Khudori.

Pedagang Swasta Tertekan, Ancaman Inflasi Nyata

Dalam kondisi ini, pedagang beras swasta dan penggilingan kecil semakin terjepit. Dari total produksi 18,76 juta ton beras selama Januari–Juni 2025, mereka hanya bisa mengakses sekitar 600 ribu ton saja.

Dengan harga beli gabah yang kini menembus Rp7.000–Rp8.000/kg, pedagang terancam rugi jika menjual sesuai HET. Tapi bila menjual lebih tinggi, mereka bisa disanksi oleh Satgas Pangan.

“Pasokan dari pedagang swasta kini hanya sepertiga dari kondisi normal. Ini jelas memicu inflasi pangan,” ungkap Khudori.

Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat, sejak awal 2025, beras menjadi penyumbang inflasi terbesar nasional. Jika dibiarkan, situasi ini berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi secara luas.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini