Semarang (Sigijateng.id) – Gelombang bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara berdampak langsung pada sekitar 120 mahasiswa asal tiga provinsi tersebut yang tengah menempuh pendidikan di Kota Semarang. Mereka kini mengalami tekanan ekonomi dan psikologis akibat hilangnya komunikasi dengan keluarga serta terhentinya kiriman biaya hidup.
“Kami banyak yang tak bisa bayar kos. Ada teman yang sampai menunda ujian karena UKT belum terbayar dan tidak bisa menghubungi orang tua,” ungkap Yuda Sandi Prananta (21), mahasiswa semester 7 UPGRIS sekaligus perwakilan mahasiswa Aceh–Sumut di Semarang, saat ditemui di Posko Mahasiswa Aceh Tembalang, Selasa (9/12/2025).
Keluarga Terisolasi dan Rumah Rusak Diterjang Banjir
Para mahasiswa ini tersebar di sejumlah kampus di Semarang. Yuda menceritakan, sebagian dari mereka menerima kabar memilukan dari kampung halaman. Ada yang kehilangan rumah, kehilangan pekerjaan orang tua, hingga belum mengetahui kondisi keluarga karena jaringan komunikasi terputus.
“Beberapa teman dapat kabar keluarga hanyut dan meninggal, dan ada juga yang sampai sekarang belum bisa menghubungi orang-orang di rumah,” tuturnya dengan suara berat. Kondisi desa yang rusak parah membuat banyak keluarga mereka tidak lagi memiliki sumber penghasilan, bahkan akses untuk keluar desa masih tertutup.
Lebaran yang semakin dekat membuat banyak mahasiswa hanya bisa pasrah. Selain tidak memiliki biaya pulang, kondisi kampung halaman yang lumpuh membuat perjalanan tidak memungkinkan.
Meski begitu, Yuda menegaskan mereka tetap berusaha bertahan. “Kami di sini saling bantu. Jangan sampai mimpi kami berhenti hanya karena persoalan biaya,” tegasnya.
Akses Terputus, Bantuan Terbatas
Senada dengan itu, Novaldi Akbar Anugerah, mahasiswa semester 3 UIN Walisongo sekaligus anggota Himpunan Mahasiswa Sumut (Himsu), mengungkapkan banyak mahasiswa perantau yang kini berada dalam kondisi rentan.
“Akses jalan di kampung masih terputus, banyak yang belum dapat bantuan, bahkan ada yang kekurangan makanan,” ujarnya. Meski keluarganya selamat, Novaldi mengaku cemas karena sebagian besar kerabatnya terdampak bencana.
Kondisi tersebut menambah beban mental mahasiswa di Semarang. Kesulitan membayar kos, membeli kebutuhan sehari-hari, hingga terbatasnya komunikasi dengan keluarga membuat mereka hidup dalam ketidakpastian.
Posko Bantuan Belum Penuhi Kebutuhan Dasar
Sejumlah organisasi mahasiswa sudah mendirikan posko bantuan di asrama mahasiswa Aceh–Sumatera di Tembalang. Bantuan berupa beras, mie instan, dan kebutuhan pokok lain mulai disalurkan, namun belum mampu menutup seluruh kebutuhan mahasiswa yang terdampak.
Sebagian besar mahasiswa masih kesulitan menanggung biaya hidup harian. Bahkan ada yang mulai mengkhawatirkan keberlanjutan studi jika kondisi ini terus berlanjut.
“Kami berharap pemerintah turun tangan. Banyak dari kami bukan tidak mau berusaha, tapi sedang terdampak bencana di dua tempat sekaligus—di kampung dan di perantauan,” pinta Novaldi.
Jika ingin ditambah kutipan, data, atau angle lebih dramatis/lebih formal, tinggal bilang!




































