Dewan Kota Semarang Prihatin Kasus Pencabulan Murid oleh Guru Ngaji

SEMARANG(kilnas.com) – Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang sangat prihatin atas kasus pencabulan dengan korban belasan anak atau murid yang justru pelakunya adalah oknum seorang guru ngaji di Kota Semarang. Sebab, dampak psikis bagi para murid yang menjadi korban sangat luar biasa berupa trauma seumur hidupnya.

Hal itu disampaikan Anggota Komisi D DPRD Kota Semarang, Umi Surotuddiniyah, Kamis (23/11/2023).

Menurutnya, pelaku pencabulan dikenai sanksi tegas dan hukum berat.

“Terjadinya pencabulan dalam dunia pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidik atau seorang guru sungguh sangat memprihatinkan, tidak bermoral, dan telah mencoreng dunia pendidikan, mencoreng profesi seorang guru, selain itu menghancurkan masa depan anak didiknya yang menjadi korban pencabulan. Dan kita tahu bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal maupun non formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah,”ujar perempuan yang juga politisi PAN itu.

Selain itu, lanjut dia, bahwa guru juga mempunyai peran membantu anak didik membentuk kepribadianya secara utuh mencangkup kedewasaan intelektual, emosional, sosial, fisik, spiritual, dan moral. Perbuatan cabul merupakan perbuatan melawan hukum dalam arti bertentangan dengan norma agama dan norma masyarakat Indonesia.

“Kesusilaan adalah suatu perbuatan yang melanggar norma kesusilaan,
Pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh guru dengan cara bujuk rayu, dengan ancaman kekerasan, atau dengan paksaan, atau dengan cara lain, maka guru yang menjadi pelaku pencabulan terhadap anak,”paparnya.

Lalu, pelaku secara khusus dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 82 junto Pasal 76 E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Jika perbuatan cabul tersebut dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Jadi guru yang melakuan pencabulan terhadap anak didiknya pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Kemudian secara umum terhadap guru yang melakukan pencabulan terhadap anak dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan sanksi pidana berupa pidana penjara selama-lamanya Sembilan tahun. Dan jika akibat dari perbuatan cabul tersebut mengakibatkan korban luka berat, maka pelaku pencabulan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun. Dan jika mengakibatkan korban mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun. Hal ini tercantum dalam Pasal 291 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pihaknya mengimbau, terutama bagi para guru, untuk menjadi guru yang memberikan suri tauladan dan perlindungan kepada anak didiknya. “Jangan justru sebaliknya menghancurkan masa depan anak-anak, dan jangan lupa tetap senantiasa selalu ingat kepada Tuhan agar terhindar dari perbuatan jahat,”pungkasnya.

Sementara, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, Ulfi Imran Basuki mengatakan, telah mendapat laporan terkait kasus kekerasan seorang guru terhadap muridnya. Dia mengaku prihatin dengan kejadian tersebut.

Kasus itu merupakan tindak pidana. Pihaknya telah menyerahkan sepenuhya kepada aparat penegak hukum. Sementara, DP3A memiliki tugas untuk melakukan pendampingan.

Laporan yang diterima DP3A, ada sebanyak 17 korban kekerasan seksual yang dilakukan guru. Pihaknya telah memohon kepada orang tuanya untuk mendampingi korban.

“Kami minta izin kepada orang tua karena tidak semuanya mau. Kita minta ke orang tua, kalau diperkenankan kami mendampingi karena korban pasti trauma,” papar Ulfi, saat Sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, di Hotel Kesambi Hijau, Kamis (23/11/2023).

Ulfi memaparkan, DP3A memiliki unit pelaksana teknis daerah (UPTD) yang siap memberikan pendampingan psikologi dan hukum. Ada dua psikolog dan satu lawyer yang siap melayani warga jika terjadi kasus kekerasan.

“Korban akan jadi saksi di pengadilan. Mereka tentu butuh pendamping bisa, menggunakan lawyer sendiri. Namun, kami juga siap melayani gratis,” katanya.

Lebih lanjut, Ulfi menyebutkan bahwa data kekerasan di Kota Semarang sepanjang 2023 ini sebanyak 199 kasus. Sebanyak 21 korban merupakan anak-anak, dan sisanya perempuan.
“Sejauh ini, tidak ada korban laki-laki,” ungkapnya.

Ulfi pun mengajak seluruh pihak bersama-sama mencegah kekerasan pada perempuan dan anak. Pemerintah membutuhkan kerjasama seluruh pihak. Apalagi, biasanya justru pelaku kekerasan merupakan orang terdekat korban. Tentunya, hal ini dapat mendatangkan trauma yang berkepanjangan bagi para korban.) (rzl)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini